A. PENDIDIKAN
PANCASILA
Pada
hakekatnya pendidikan pancasila adalah upaya sadar diri suatu masyarakat dan
pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan
generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara secara berguna
(berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan
kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang
senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara,
dan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan
UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan
bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ”.
B. JATI
DIRI, KARAKTER, DAN KEPRIBADIAN
Jati
diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah ”ciri
bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya diri
kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift),
serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality,
moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus
Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai:
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi
pekerti; tabiat. Dalam risalah
ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam
arti bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi,
‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang
positif. Dengan demikian, pendidikan
membangun karakter, secara implisit mengandung
arti membangun sifat atau pola
perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau
yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson
dan Seligman, dalam buku
’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung
’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai
unsur-unsur psikologis yang membangun
kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah
bahwa karakter tersebut
berkontribusi besar dalam
mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun
kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan,
Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan
(lebih ke psikologis) seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan
ini belum tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja
tertampilkan sangat bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian
untuk mengenal seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar
sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara
lingkaran kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya.
Secara
visual hubungan antara jatidiri, karakter dan kepribadian dapat digambarkan
sebagai berikut:
C. BEBERAPA
MANIFESTASI KRISIS KARAKTER DI INDONESIA
Dalam kasus Indonesia,
krisis karakter,
mengakibatkan bangsa
Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna
mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan
jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk
tumbuh dan berkembang menjadi bangsa
yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.
Krisis
karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi
yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas.
Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka
mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri
masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi,
korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter
yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa
Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya
menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi
Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah
menyebabkan bangsa ini
kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa
lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali
kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab
sosial.
Kesenangan merusak diri sendiri.
Di samping korupsi, memudarnya karakter
di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya
terlibat dalam kegiatan atau
aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of
self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan
potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di
Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat
untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain
terkesan membiarkannya. Memecahkan perbedaan pendapat atau
pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan
kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk
dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya
nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh
kembang bersama, secara damai, dalam
kebhinekaan.
Hipokrisi atau Kemunafikan.
Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara
dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat
Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan
keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai
masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui,
tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain,
seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’
bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi.
Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK,
lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan
tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh
yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh
yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh
atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri
melakukan hal sebaliknya.
Mentalitas makan siang gratis.
Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah fenomena lain yang
menunjukkan krisis karakter. Ini
adalah sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah,
tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut
kekiri dan kekanan..
Kesenangan mencari kambing hitam.
Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini
bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar
banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah
kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang
kita punya kambing hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World
Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar,
sebenarnya ada cara bertanya yang lain: ’Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita
beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari
jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika
Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian
besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali
dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari
pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena
merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.
D. MEMBENTUK
KARAKTER BANGSA LEWAT PENDIDIKAN
Aspek
pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan
mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang
sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang,
apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan
jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang
diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati
diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah
yang terdapat dalam otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada
empat faktor utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang
tersedia untuk pendidikan, faktor kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan
yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu
sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu
bersaing di era global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah
aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek
kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya
sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa
yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal
aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang
harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik
menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu
pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’
yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu
bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak
tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang
akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini
tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka
dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain.
Penanaman karakter anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik
tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak
positif bagi bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK
terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu
menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya?
Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan
oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know),
belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn
to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together).
Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi
yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan
hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter
diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi
muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor
atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan
untuk pengembangan karakter
bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas
lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak
Faktor atau media yang berperan dalam
pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran
tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media
masa, lingkungan sosial, dan pendidikan
formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di
mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak
pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang,
sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena
tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya,
maka di keluargalah proses pendidikan
karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan
menentukan seberapa jauh seorang anak dalam
prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai
moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan
bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak
sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan
konsep awal mengenai keberhasilan dalam
hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil,
dan wawasan
mengenai masa depan.
mengenai masa depan.
Dari sudut
pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter,
maka tidak salah kalau krisis karakter
yang terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan
gagalnya pendidikan di keluarga.
Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas
tindakan yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada
anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang
tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur
dalam kehidupan sebagai salah
satu nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini
mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami
alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang
ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa,
khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi.
Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang
kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter
bangsa melalui tulisan-tulisan
di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat
perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan
secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa,
terutama sekali: kepercayaan diri bangsa,
keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan
kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk
kepentingan bangsa makin sulit
kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama
makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung
teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia
, khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada
program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih
menonjolkan karakter buruk
daripada karakter baik. Sering
kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media
televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun
acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik
untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru
memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun
tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan
’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau
’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan
keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi,
khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah
mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron
Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan
guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’
anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh
para guru di sekolah.
Pendidikan
formal. Pendidikan formal,
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang
belum banyak berkontribusi dalam
hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga
pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian
pada pengembangan keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan
mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau
mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar
waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan
telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya,
dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru
diukur dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’
untuk menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun
pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan
pada lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan yang
lainnya.
Di pihak lain,
seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan
menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan.
Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan
menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi, berlapang
dada dalam kekalahan, dan rendah
hati dalam kemenangan. Masalah
kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan
program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan
menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda
kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.
E. MANFAAT
PENDIDIKAN PANCASILA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Pancasila
adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat
pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara,
dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh
Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi
karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti
keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya,
serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila
pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan
berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia
harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat
dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri
dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya,
dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda
dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi
kesadaran manusia yang manusiawi.Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi
3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut:
Kelompok 1
Yaitu manusia
yang berkesadaran rendah, dimana segala perilakunya hanya mementingkan diri
sendiri, dirinya selalu dikuasai oleh nafsu atau perilaku hewani dan iblis.
Mereka tidak bisa bekerja berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba keakuan
atau berorientasi kepada kepuasan dirinya.
Kelompok 2
Yaitu manusia
yang sudah meningkat kualitas dirinya dari kualitas manusia rendah kepada
manusia yang manusiawi. Sifat dari orang yang sudah manusiawi ini pada setiap
pekerjaan berorientasi ke luar, tidak mementingkan dirinya sendiri, melainkan
berorientasi kepada masyarakat atau dunia sekelilingnya. Manusia yang manusiawi
ini, berwujud manusia, berpikir manusia, berhati manusia, berucap manusia,
berpandangan manusia, dan berbuat manusia. Mereka telah dapat menyelaraskan
antara pikiran, ucapan, suara hatinya, dan perbuatannya di dalam segala
tindakannya.
Kelompok 3
Yaitu manusia
yang berkesadaran ketuhanan. Manusia yang berada kelompok ini adalah kelompok
eksklusif atau kelompok yang langka, di mana kesadaran mereka sudah sampai pada
peleburan dengan kesadaran Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan, pandangannya
sudah tidak mengandung dualisme lagi mereka telah menyatu dengan Yang Maha
Kuasa. Mereka telah mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia yang
sempurna.
Dari tiga
kelompok kesadaran manusia ini dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan sila
pertama Pancasila, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya manusia
Indonesia secara ideal harus mencapai tingkatan manusia yang sempurna, manusia
yang dapat meleburkan dirinya dengan Tuhan di dalam kehidupannya sekarang di
dunia, atau dengan kata lain Insan Kamil.
Dalam rangka mewujudkan
manusia yang sempurna ini harus melalui jalan yang terjal, jalan ini memang
benar-benar ada bukan semata-mata hanya khayalan saja. Ada nama atau sebutannya
pasti ada wujudnya, dan ada manusia yang sudah pernah mencapainya. Siapa mereka
? Mereka merupakan manusia yang suci yang kalau di Islam biasa disebut Wali
Yullah, atau dalam agama lain disebut Budha atau Dewa dan lain sebagainya.
Sebelum mencapainya kita
terlebih dahulu harus mengetahui karakter manusia yang berkesadaran rendah atau
binatang. Pada manusia yang berkesadaran rendah setiap kualitas kerjanya akan
berorientasi kepada kepentingan pribadi dan egonya, mereka itu selalu dikuasai
oleh segala sesuatu yang ada di muka bumi atau segala sesuatu dari hasil
kerjanya. Mereka tidak bisa memerdekakan dirinya dari segala perbudakan, mereka
adalah tipe budak, mereka egois, serakah, tamak, jahil, jahat, berpikiran
sempit dan lain-lain. Segala perbuatannya berorientasi keuntungan untuk diri
sendiri. Tidak ada kesadaran akan ketuhanan, yang ada kelekatan akan segala
sesuatu.
Karena begitu
liarnya sifat kebinatangan dan keiblisan di dalam dirinya maka mereka itu
sangat memerlukan suatu koridor hukum agar mereka dapat tertib dan terkendali.
Yang harus ditertibkan yaitu sifat atau perilaku liarnya. Ajaran agama dan
hukum-hukum yang lainnya sangat diperlukan untuk pengendalian diri. Gunanya
agar sifat liar tersebut menjadi tertib. Kalau sudah tertib sifat liarnya maka
mereka akan mudah mengendalikan diri dan dapat mengoptimalkan kemampuan
dirinya, dan mereka dapat meningkat ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi
yaitu manusia yang manusiawi.
Yang tercantum
sebagai sila pertama Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan agama. Jika
agama dicantumkan sebagai sila pertama, pasti keadaan menjadi kacau karena
banyak penganut agama dan penganut kepercayaan yang menjadi ribut menginginkan
agama atau kepercayaannya dijadikan sebagai landasannya sehingga menimbulkan
pandangan yang sempit. Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana dan tidak ada
kesatuan.
Semua agama di
mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama
karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung
hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan
masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari sekian banyak
agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya
sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat melaksanakan
semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan kepercayaan yang ada.
Semua agama
baik dan benar jika para penganutnya dapat meningkatkan kesadarannya dari
manusia yang berkesadaran rendah, naik menjadi manusia yang manusiawi atau
kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat "Kesadaran Ketuhanan". Apabila
manusia meyakini suatu ajaran agama, tetapi ternyata mereka tidak meningkat
kesadarannya malahan mereka tetap berada dalam kesadaran rendah, bahkan lebih
rendah lagi maka yang salah bukan ajaran agamanya, melainkan para penganutnya
yang salah kaprah atau salah dalam pemahamannya sehingga tidak ada perubahan
kebaikan dalam kehidupannya, mereka itu merupakan manusia yang sesat.
Pada kondisi
saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi
kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan
mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis,
mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya
kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya
oleh orang lain.
Zaman dahulu
orang jahiliyah berperilaku kejam dan sadis karena belum ada agama yang masuk
ke dalam dirinya. Sekarang meskipun agama masuk dan sudah ribuan tahun usia
agama, kualitas dirinya bukannya lebih baik melainkan sebaliknya lebih
jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa setiap penganut agama
memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan agar mereka mendapatkan
pencerahan dari apa yang mereka anut.
Terlalu
panjangnya rentang waktu antara kita dan penyebar agama menjadikan pandangan
terhadap agama pun berubah. Untuk menghindari agar ajaran agama tidak
menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang sempurna. Apakah ada ? Ya, pasti
ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaan mereka bila hati kita
buta, dan kita masih tertidur lelap dalam kebodohan dan ketidaksadaran. Biarpun
mereka ada di depan kita, kita tidak dapat mengetahuinya, kecuali kalau kita
sudah terbangun dari kesadaran rendah, hati yang buta dapat melihat kembali.
Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan pembimbing sempurna tadi di dalam
hidupnya.
Mengapa dalam
sila pertama Pancasila harus berketuhanan dulu ? Tanpa ketuhanan semua menjadi
mati tidak hidup karena Tuhan merupakan hidup itu sendiri ! Sekarang orang
beragama tanpa ketuhanan maka agamanya menjadi mati tidak berjiwa, dan mereka
akan berubah menyembah agama bukan menyembah Tuhan, atau primodial sempit.
Kalau semua pemeluk agama sudah menyadari tentang ketuhanan masing-masing,
tidak ada lagi pertentangan karena pertentangan itu hanya ada di kelompok bawah
atau kesadaran rendah, dalam tataran kelompok "Kesadaran Ilahi" sudah
tidak ada pertentangan dalam segala sesuatunya. Dengan Sila Ketuhanan sebagai
sila pertama maka tidak ada lagi pertentangan antara satu dengan yang lain
mengenai Tuhan yang melingkupi seluruh alam semesta ini.
Kalau sudah
banyak jumlah penduduk Indonesia yang sudah ber-ketuhanan dalam tataran manusia
yang manusiawi maka Pancasila sudah bisa menjadi pemersatu seluruh bangsa
Indonesia, dan Indonesia sudah masuk dalam keadaan pencerahan dan kemakmuran.
Kalau
kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan
Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya
manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada
kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh karena
itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus
dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga
harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka
bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia),
bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Pada saat ini
pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu pengetahuan di dunia telah maju pesat,
tetapi kondisi manusia menjadi jauh sekali dari kondisi manusia yang sempurna
kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi robot-robot hidup yang penuh dengan
ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh penemuan manusia itu sendiri, tidak
mengarah kepada kedamaian dan ketenangan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh
manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu arah hidupnya, mereka menjadi
budak-budak konsumsi dari apa yang mereka ciptakan sendiri, yang akhirnya hati
mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan apa yang mereka ciptakan, mereka
terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya) mereka. Mereka tidak mempergunakan
kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu menggunakan otak kiri, otak kanan dan
bawah sadar, serta kekuatan hati nurani.
Karena
kebimbangan serta stress yang berkepanjangan, mereka tidak dapat menemukan jati
dirinya. Diri mereka selalu dihubungkan dan dilekatkan dengan dunia luar. Semua
yang ada di luar dirinya menjadi melekat dan memperbudak mereka, mereka menjadi
budak dan terpenjara selama-lamanya.
Oleh karena,
itu kita harus berani merubah tatanan yang sudah mapan dalam kegelapan dan
kebodohan ini. Bangun dan sadar dari apa yang mereka sadari, bangkitkan
kemampuan mereka, cukup dengan satu orang yang sudah sampai ke dalam kesadaran
ketuhanan, dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membangunkan manusia yang
terlena dalam kegelapan.
Jadi, sila
pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta harus
diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik
secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan
manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun
akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan
ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik
bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta
menjadi mercu suar dunia.
Untuk
menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan
Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta sila kelima Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat dilakukan jika manusia Indonesia
meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia yang manusiawi. Jika manusia
Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila tersebut tidak dapat di
jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah dengan sendirinya mereka
masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat rendah lainnya, tidak mungkin
memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya sendiri saja.
Hanya manusia
yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila dengan
sebenar-benarnya. Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di
Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan
masyarakat Indonesia.
Pancasila
diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling
mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan
untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan
begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi
masyarakat Indonesia yang moderen.
Secara kreatif
dan dinamis, Pancasila mampu memadukan antara aspirasi masa depan,
menyelesaikan masa kini dan memberi harga pada masa lalu. Perjalanan sejarah
membuktikan Pancasila mampu memberikan dasar yang kokoh bagi kesatuan dan
persatuan bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
Pancasila sangat bermanpaat dalam membangun karakter bangsa karena dengan
mempelajari pendidikan pancasila dapat menimbulkan kesadaran dalam diri manusia
itu sendiri, karena sesungguhnya pembangunan Indonesia harus mengarah kepada
kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun
secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan
merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat
tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
B. Saran
Dalam
membangun karakter bangsa sebaiknya dengan menerapkan nilai-nilai yang
terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa dapat mengamalkannya maka
akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta akan di dapati Negara
yang aman dan sejahtera.
No comments:
Post a Comment