Saturday, January 21, 2012

Pendidikan Agama I

PENDIDIKAN AGAMA 1


EKSISTENSI ALLAH
Tentang eksistensi Allah ini banyak dibicarakan dalam teologi Islam, hanya saja terbatas pada asumsi definitif belaka, sehingga lebih mengaburkan makna aslinya. Abu al-Hasan bin Isma’il al-Asy’ari (873-935), pada awalnya tergelincir dalam rasionailisme, dan menyebabkan pendapatnya lebih bersifat interpretatif, mengindikasikan Allah sebagai kumpulan sifat sifat bias dari sebuah keberadaan yang serba maha, tanpa menyertakan dzat-Nya. Al-Asy’ari mulanya sebagai salah satu tokoh Mu’tazilah, namun pada tahun 912 menghindar dari lingkaran pemikiran mu’tazilah, tetapi kemudian justru masuk pada ruang lingkup teologi Asy’ariyah yang menuai damba kalangan tokoh seperti Iman Ghazali. Dalam sejarah Asy’ariyah yang berkembang itulah terdapat dogma tentang wajah Allah yang diganti dengan makna rahmat-Nya. Sejalan dengan ide Asy’ari yang menuangkan Ilmu Kalam, ilmu tawhid dan Ushuluddin, muncul juga seorang Abu Manshur Al-Maturidi, memperpanjang perdebatan tentang Allah dengan merumuskan keberadaan Allah pada sifat duapuluh (20). Kini rumusan tersebut menjadi materi doktrin pendidikan Tawhid, dan merata di pesantren NU di Indonesia.
Berbeda dengan kalangan theology modern dalam hal ini Abu al-Hasan dan al-Maturidi, sebenarnya metode perumusan keduanya itu berangkat dari kekhawatiran akan terjadinya penyelewengan dan gambaran gambaran negative tentang Allah. Tetapi justru dengan sikap skeptis kedua Imam itu membuka peluang baru pada definisi rasionalisme yang lebih membahayakan. Karena akan lahir gambaran baru bahwa Allah itu hanya wujud yang tidak berbentuk dan hanya merupakan kandungan sifat sifat belaka, bukan dzat. Padahal Al-Quran dan Hadist menetapkan wujudnya Dzat Allah dan sifat-Nya dengan bahasa transparan yang dapat mengundang kerinduan kita umat Islam untuk bertatap muka dengan-Nya. Sedangkan kedua teori tokoh ilmu kalam tersebut mengiyakan pentingnya membahasakan kata kata Wajah, Tangan, dengan kekuasaan atau rahmat. Tujuan keduanya jelas melebihi kekhawatiran orang orang sebelumnya dari kalangan shahabat Nabi dan Tabi’in yang tetap pada arti arti glamblang, menerima teks teks wahyu tanpa memperdebatkan. Berbeda tentunya dengan para pemuja Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianut oleh sebagian besar besar muslim Asia Tenggara, merekapun terperosok kedalam skeptisisme.
Wajah Allah
Eksistensi Allah, tentang wajah-Nya dijelaskan Allah dalam Al-Quran berulang ulang. Firman-Nya
“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)
“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al-Lail: 20).
Persepsi “Wajah” dalam kata ini adalah bersifat khas, bahwa kelak Allah akan memperlihatkan wajah-Nya pada hambanya. Kalau misal-nya Allah wujud-Nya tanpa Wajah, itu justru menempatkan Allah pada tidak tempatnya : Yaharrifuna al-kalimat ‘ala Mawaadli’ihi (memalingkan kalimat tidak pada tempatnya).
Dalil dari As-Sunnah
Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allah, diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623, 3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943, 5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya). Meskipun pengertian “Wajah Allah” itu adalah Wajah-Nya ada yang menolak, bagaimana dengan lafadz hadist ini:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan) Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang wajah Allah (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah) . Apakah kata wajah pada hadist tersebut bisa dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Namun semua keterangan Allah dan Rasul-nya tidak banyak menggugah kalangan theologi kala itu untuk menetapkan keberadaan Allah dengan kalimat pasti, tetapi bersifat abu abu. Padahal suatu bentuk pemahaman salah dalam aqidah hanya akan memperkeruh dialektika aqidah dalam retorika akal akalan. Memalingkan pada pengembangan pengembanga pemikiran instrument filsafat free thinker, sehingga menghasilkan dogma, mengikat umat dengan konstribusi aqidah aqidah yang salah. Sebagaimana kini dianut oleh pengikut Asy’ariyah, bahwa sifatnya Allah itu 20, tanpa ada yang berani membantah bahwa itu salah. (dalam hal ini …telah menjadi kurikulum pendidikan agama disekolah sekolah Islam daun umum).
Allah Tertawa
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Allah tertawa melihat dua orang yang telah bunuh membunuh dan keduanya masuk surga. Seorang pejuang berjuang di jalan Allah (Fisabilillah) lalu terbunuh kemudian yang membunuh masuk Islam dan ikut berjihad Fisabilillah sehingga mati syahid terbunuh pula.”
(dishahihkan Bukhari - Muslim). Subhanallah, kerinduan pasti akan lebih bersenandung indah, saat mendengar Allah TERTAWA, suatu sifat gambaran Allah menurut sifat-Nya, melahirkan hakikat pendalam terhadap ajaran Tawhid , mengungkap kegembiraan Allah.
Jari Jemari Allah.
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di antara jari-jari Allah Ar-Rahman.”
(Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal IV/182. Sunan Ibn Majah I/72, Mustadrak Al-Hakim I/525. Al-Ajiri, Asy-Syari’ah hal. 317, Ibn Mandah, Ar-Rad.
Tangan Kanan dan Kiri Allah
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar radiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Allah akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari kiamat, lalu diambil dengan tangan kananNya, dan berfirman: “Akulah penguasa, mana orang-orang yang berlaku lalim? mana orang orang yang sombong?, kemudian Allah menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan tangan kiriNya dan berfirman: “Aku lah Penguasa, mana orang-orang yang berlaku lalim?, mana orang-orang yang sombong?”.
Ini menunjukkan keberadaan Allah Yang Maha Sempurna, Berdiri sebaga Robb Pencipta, lepas dari aib dan cacat, bukan seperti klangan Asy’ariyah yang meniadakan tangan tangan Allah dan diganti dengan kekuasaan Allah. Justru pendapat Asy’ariyah itu rancu dan membingungkan, karena melepaskan suatu keyakinan mendasar.
Kaki Allah
Bagaimana dengan kaki Allah?
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Shallahu alaihi wasallam:
“Artinya ; Sehingga Allah meletakkan telapak kakiNya di Jahannam.”
(Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir VII/594, Shahih Muslim Kitab Al-Jannah IV/2187).
Kekaguman kita makin bertambah, tatkala keagungan Allah itu dihayati lewat nama nama-Nya yang di ajarkan pada hamba-Nya melalui Rasul-Nya . Sebutlah Asma’ Al-Husna, 99 nama nama Allah dengan kandungan sifatn-Nya mencerminkan suatu kepastian tentang keberadaan Allah, bahwa wujud Allah adalah Maha Sempurna, lepas dari tuduhan hamba-Nya yang merendahkan kedudukan-Nya dengan sifat sifat Tamtsil, yang meniadakan Wajah, Kaki, Tangan dan Jari Jemari-Nya. Namun demikian Islam tidak memperkenankan sikap;
1. ta’thil (meniadakan/menolak)
2. tamtsil (membuat permisalan),
3. tahrif (mengubah maknanya)
4. dan takyif (mempertanyakan dengan bagaimananya). Sebab Allah tidak sama dan serupa dengan makhluq-Nya.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11). Sayang Sekolah terbelenggu Asy’ariyah dan Maturidiyah, sehingga aqidah Tawhid anak didik kita hanya mengenal sifat 20 lewat tembang menjelang sholat Maghrib.
Di antara sesuatu yang wajib diterima oleh akal adalah bahwa setiap sesuatu yang ada pastilah ada yang mengadakan. Begitu pula dengan alam semesta ini, tentu ada yang menjadikannya (QS.52:35). Bukti-bukti eksistensi Allah dapat ditinjau berdasarkan lima dalil, yaitu :




1.
Dalil fitrah, yaitu perasaan alami yang tajam pada manusia bahwa ada dzat yang maujud, yang tidak terbatas dan tidak berkesudahan, yang mengawasi segala sesuatu, mengurus dan mengatur segala yang ada di alam semesta, yang diharapkan kasih sayang-Nya dan ditakuti kemurkaan-Nya. Hal ini digambarkan oleh Allah SWT dalam QS. 10:22.

2.
Dalil akal, yaitu dengan tafakkur dan perenungan terhadap alam semesta yang merupakan manifestasi dari eksistensi Allah SWT. Orang yang memikirkan dan merenungkan alam semesta akan menemukan empat unsur alam semesta :





a.
Ciptaan-Nya





·
Bila kita perhatikan makhluk yang hidup di muka bumi, kita akan menemukan berbagai jenis dan bentuk, berbagai macam cara hidup dan cara berkembang biak (QS. 35:28). Semua itu menunjukkan adanya zat yang menciptakan, membentuk, menentukan rizki dan meniupkan ruh kehidupan (QS. 29:19,20). Bagaimanapun pintarnya manusia, tentu ia tidak akan dapat membuat makhluk yang hidup dari sesuatu yang belum ada. Allah SWT menantang manusia untuk membuat seekor lalat jika mereka mampu (QS. 22:73). Nyatalah bahwa tiada yang dapat menciptakan alam semesta ini kecuali Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Hidup.





b.
Kesempurnaan





·
Kalau kita perhatikan, akan terlihat bahwa alam ini sangat tersusun rapi, diciptakan dalam kondisi yang sangat sempurna tanpa cacat.Hal ini menunjukkan adanya kehendak agung yang bersumber dari Sang Pencipta. Sebagai contoh, seandainya matahari memberikan panasnya pada bumi hanya setengah dari panasnya sekarang, pastilah manusia akan membeku kedinginan. Dan seandainya malam lebih panjang sepuluh kali lipat dari malam yang normal tentulah matahari pada musim panas akan membakar seluruh tanaman di siang hari dan di malam hari seluruh tumbuhan membeku. Firman Allah:

·
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. 67:3,4)





c.
Perbandingan ukuran yang tepat dan akurat (QS. 25:2)





·
Alam ini diciptakan dalam perbandingan ukuran, susunan, timbangan dan perhitungan yang tepat dan sangat akurat. Bila tidak, maka tidak akan mungkin para ilmuwan berhasil menyusun rumus-rumus matematika, fisika, kimia bahkan biologi.





d.
Hidayah (tuntunan dan bimbingan) (QS. 20:50)





·
Allah memberikan hidayah (tuntunan dan petunjuk) kepada makhluk-Nya untuk dapat menjalankan hidupnya dengan mudah, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Pada manusia sering disebut sebagai ilham dan pada hewan disebut insting/naluri. Seorang bayi ketika dilahirkan menangis dan mencari puting susu ibunya. Siapa yang mengajarkan bayi-bayi tersebut? Seekor ayam betina membolak-balikkan telur yang tengah dieramnya, agar zat makanan yang terdapat pada telur itu merata, juga kehangatan dari induk ayam tersebut, dengan demikian telur tersebut dapat menetas. Secara ilmiah akhirnya diketahui bahwa anak-anak ayam yang sedang diproses dalam telur itu mengalami pengendapan bahan makanan pada tubuhnya di bagian bawah. Jika telur tersebut tidak digerak-gerakkan maka zat makanan tersebut tidak merata, dengan demikian ia tidak dapat menetas. Siapa yang mengajarkan ayam untuk berbuat demikian ?








Kita sering mendengar seseorang yang ditimpa musibah yang membuat hatinya hancur luluh, putus harapan, lalu ia berdoa menghadap Allah SWT. Tiba-tiba musibah itu hilang, kebahagiaan pun kembali dan datanglah kemudahan sesudah kesusahan. Siapa yang mengabulkan doa, siapa pula yang mengajarkan orang, yang kafir sekalipun, untuk berdoa/meminta pertolongan pada suatu zat di luar dirinya yang dirasakannya bersifat Maha Kuasa dan Maha Berkehendak ? Firman Allah :






“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu pun berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS.17:67)




Eksistensi Allah terlihat dalam banyak sekali fenomena-fenomena kehidupan. Barangsiapa yang membaca alam yang maha luas ini dan memperhatikan penciptaan langit dan bumi serta dirinya sendiri, pasti ia akan menemukan bukti-bukti yang jelas tentang adanya Allah SWT. Firman Allah :






“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar.” (QS.41:53)
1.
Dalil akhlaq




·
Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq). Dengan adanya moral (akhlaq) inilah, ia secar naluriah mau tunduk dan menerima kebenaran agar hidupnya lurus dan urusannya berjalan teratur dan baik. Zat yang dapat menanamkan akhlaq dalam jiwa manusia adalah Allah, sumber dari segala sumber kebaikan, cinta dan keindahan. Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi jiwa manusia merupakan bukti eksistensi Allah. (QS. 91:7-8)




2.
Dalil wahyu




·
Para rasul diutus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang berbeda. Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantaraan wahtu. Dengan membawa bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak umatnya agar beriman kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjalin hubungan baik dengan-Nya, serta memberi peringatan akan akibat buruk dari syirik/berpaling dari-Nya (QS.6:91). Siapa yang mengutus mereka dengan tugas yang persis sama? Siapa yang memberikan kekuatan, mendukung dan mempersenjatai mereka dengan mukzijat? Tentu suatu zat yang eksis (maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah. Keberadaan para rasul ini merupakan bukti eksistensi Allah.




3.
Dalil sejarah




·
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman, percaya akan adanya Tuhan yang patut disembah dan diagungkan. Semuanya telah mengenal iman kepada Allah menurut cara masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan bukti yang memperkuat eksistensi Allah. (QS.47:10; perkataan ahli sejarah Yunani kuno bernama Plutarch).




Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran selain Islam, diantaranya yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera dan sedikit akal, sehingga timbul prakiraan-prakiraan yang membentuk filsafat-filsafat atau pemikiran tentang ketuhanan. Filsafat dan pemikiran tersebut justru mendatangkan keguncangan dan kebingungan dalam jiwa. Sehingga hanya menanamkan keraguan dan kesangsian terhadap keberadaan Allah. (QS.34:51-54; 2:147; 22:11; 10:94)
Jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir tersebut melanggar fitrah mereka. Sebab mereka mencoba mengenal Allah dengan menggunakan panca indra saja. Padahal panca indra hanya bisa mendeteksi sesuatu yang dapat diraba, diukur, disentuh. Sebaliknya untuk mengenal sesuatu selain Allah mereka menggunakan panca indra dan akal. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir ini pada akhirnya tidak pernah membawa mereka sampai mengenal siapa Sang Pencipta. Sebaliknya yang mereka dapatkan adalah ketidaktahuan akan Allah Yang Maha Mencipta.
Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut dioptimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya memikirkan ciptaan atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah). Tadabbur berarti merenungkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an (ayat qauliyah). Sehingga timbul keyakinan di dalam hati tentang keberadaan dan kekuasaan Allah (QS.3:190-191; 12:105; 10:101)
Jalan yang ditempuh oleh orang mukmin bersandarkan pada fitrahnya sebagai manusia, yaitu mengoptimalkan akal, pemikiran, ilmu, serta hatinya untuk mengenal Allah lewat tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat-ayat-Nya), bukan zat-Nya. Baik tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam, mukzijat serta dalm Al Qur’an. Lewat jalan inilah manusia akan mengenal Allah SWT.
Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Allah, yaitu:
1. Paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya.
Teori ini sudah sangat tidak relevan dan dapat ditolak oleh causality theory yang mengatakan bahwa adanya sesuatu disebabkan oleh adanya sesuatu yang lain (kemudian teori ini berkembang dan menjadi teori kosmologi). Dengan demikian menurut teori ini alam semesta tidak terjadi dengan sendirinya melainkan melalui proses penciptaan, yang karenanya sudah pasti ada yang menciptakan.
Al-Farabi melalui teori pancarannya (emanasi atau al-faidl) mengatakan bahwa alam semesta ini adalah hasil pancaran dari wujud kesebelas atau akal kesepuluh. Jika diurut secara vertikal, maka akal kesepuluh itu –secara hierarkis- adalah kelanjutan dari akal2 sebelumnya yang berawal dari akal pertama. The first intelligence adalah prima causa. Ia merupakan wujud pertama atau al-wujudul-awwal yang melahirkan wujud2 berikutnya. Dan wujud pertama itu adalah Allah.
Dalam rangka membuktikan eksistensi Allah, Ibnu Sina membangun sebuah teori yang disebut teori wujud (filsafat wujud). Menurut teori ini, sifat wujud lebih penting dari sifat2 lainnya sekalipun dibandingkan dengan sifat esensi (mahiyah). Esensi menurutnya terdapat pada akal sedangkan wujud berada di luar akal. Wujud menjadikan esensi. Oleh karenanya esensi itu ada yang mustahil berwujud (mumtani’ul-wujud), ada yang mungkin berwujud (mumkinul-wujud), ada yang tidak mungkin berwujud (ghairul-mumkinul-wujud), dan ada pula yang mesti berwujud (wajibul-wujud). Dalam wajibul-wujud esensi tidak mungkin berpisah dari wujud. Wajibul-wujud adalah Allah yang terjadi dengan sendirinya. Oleh karena itu Allah itu mesti adanya. Adapun yang mustahil wujud, mungkin wujud, dan tidak mungkin wujud adalah segala sesuatu yang selain Allah.

2. Paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti.
Terhadap teori ini, Sayid Syabiq dalam bukunya Akidah Islam: Pola Hidup Manusia Beriman mengatakan bahwa teori ini lebih sesat daripada teori yang pertama. Menurutnya, sel tidak mungkin mampu menyusun dan memperindah sesuatu seperti yang terjadi pada struktur alam semesta. Umpamanya, aspek gender dan tata surya.

3. Paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan.
Ini adalah teori yang berkesesuaian dengan akal pikiran yang sehat, karena dapat diterima secara aqli dan naqli. Masalah yang kemudian muncul kemudian adalah siapakan yang menciptakan alam semesta ini? Menurut doktrin dan konsep keimanan Islam ini pencipta alam semesta adalah Allah, dan jawaban ini akan membawa kepada pengertian bahwa Allah itu ada (real).
Teori2 yang mendukung paham ketiga ini diantaranya adalah argumen kosmogolis, argumen ontologis, argumen teleologis, argumen moral dan argumen epistimologis.
Ontologis mulai dikembangkan oleh Plato (428-348 SM). Dalam kajian ontologis, segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai idea. Idea adalah konsep universal dari setiap sesuatu. Manusia, misalnya, mempunyai konsep universal atau idea.
Idea itu merupakan hakikat sesuatu. Ia merupakan adanya sesuatu. Ia berada di alam tersendiri, yaitu alam iddea yang bersifat kekal. Idea2 itu tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu pada idea tertinggi yang disebut Idea Kebaikan atau The Absolute Good, yaitu Yang Maha Mutlak Baik. Ia adalah sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada. Dia adalah Tuhan.
Alam semesta ini adalah teleologis, artinya diatur menurut tujuan2 tertentu. Alam dalam pandangan teleologis tersusun dari bagian2 yang satu sama lain erat sekali hubungannya. Bagian2 yang saling berhubungan itu bergerak dan bekerja sama atau berevolusi menuju tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu ialah kebaikan alam secara totalitas. Penggerak alam sehingga berevolusi adalah zat yang maha sempurna, zat yang lebih tinggi dari alam itu sendiri. Zat inilah yang disebut Tuhan.

Materi Lainnya:
1. Iman
4. Taqwa

No comments: